Pendidikan Agama Moderat kunci bangkitkan Nasionalisme di Era Digital

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD),  Prof. Dr. H. Bambang Qomaruzzaman, M.Ag., mengatakan bahwa pendidikan agama moderat menjadi salah satu kunci untuk bangkitkan nasionalisme di era digital, terutama untuk membangun semangat kebangsaan dan melindungi generasi muda dari radikalisme serta intoleransi. (Foto : PMD BNPT) 

Bandung, SBNNEWS.ID
- Pendidikan agama moderat menjadi salah satu kunci untuk bangkitkan nasionalisme di era digital, terutama untuk membangun semangat kebangsaan dan melindungi generasi muda dari radikalisme serta intoleransi. Moderasi beragama dalam konteks pendidikan dapat menjadi salah satu solusi atas ancaman ideologi transnasional yang dapat merusak nasionalisme anak bangsa.

“Pendidikan agama moderat bukan mengubah agama itu sendiri, tetapi mengubah cara beragama agar dapat diterima oleh semua kalangan di ruang publik,” ujar Prof. Dr. H. Bambang Qomaruzzaman, M.Ag, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) di Bandung, Kamis (22/5/2025).

“Beragama secara moderat berarti menerima keberagaman sebagai modal untuk hidup bersama, bukan sebagai penghalang," ucapnya.

Bambang menyakini pendidikan agama moderat akan membantu menciptakan kesadaran pentingnya bekerja sama antar umat beragama untuk memperkuat solidaritas nasional. Namun, pendidikan agama di era sekarang telah kehilangan konteks dan relevansi terhadap kehidupan sehari-hari. Pendidikan agama cenderung hanya berfokus pada tekstual, ajaran inti agama tanpa mengaitkannya dengan isu sosial yang dihadapi bangsa. 

"Pendidikan agama yang hanya mengajarkan nilai-nilai spiritual tanpa mengaitkannya dengan masalah nyata di masyarakat, membuat ajaran tersebut kehilangan relevansi dan terasa kosong," ujar Guru Besar di bidang Ilmu Kebijakan Pendidikan ini. 

Oleh karena itu, penting bagi para pendidik maupun pemuka agama untuk beradaptasi, menyelesaikan persoalan yang ada, seiring dengan berkembangnya zaman. Kemudian, berupaya untuk mengemas materi agama yang dapat diterima generasi masa kini, guna menarik kesadaran mereka untuk beragama sekaligus bernegara secara baik. 

“Beragama itu bukan hanya aksi untuk mati, melainkan juga untuk hidup lebih baik di konteks kehidupan sosial masyarakatnya,” tegas pria yang akrab disapa Prof Beqi ini  

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Jawa Barat ini menganggap eksklusivisme beragama lahir dari rasa curiga. Karenanya, hidup bersama dalam perbedaan, saling toleransi adalah cara efektif untuk menghilangkan eksklusivisme. 

Beqi mengatakan, jika generasi muda memiliki spirit moderat dalam beragama di ruang publik, maka akan timbul semangat untuk menjaga persatuan dan kerjasama untuk berjuang menciptakan bangkitnya semangat nasionalisme. 

Prof Beqi mengklaim momen kebangkitan nasional terjadi ketika semua warga bangsa merasa perlu membangun ikatan bersama menghadapi persoalan bersama saat itu, yakni kolonialisme.  Saat ini, Indonesia memiliki banyak tantangan yang lebih berat dari kolonialisme pra-1945. 

Sayangnya, tantangan intoleransi, radikalisme dan terorisme belum disadari bersama, sehingga masing-masing warga masih belum terpanggil untuk bergerak bersama. 

“Pada titik inilah pendidikan agama secara moderat diperlukan untuk mendorong pentingnya hidup bersama dengan penganut agama apapun, demi menciptakan kebangkitan nasional yang kedua,” ucap Prof Beqi mengakhiri. (Adri Irianto) 

Click to Comment!

0/Post a Comment/Comments