Jakarta, SBNNEWS.ID - Peringatan Hari Anak Nasional selayaknya menjadi pengingat bagi semua bahwa anak-anak sebagai generasi penerus bangsa belum seutuhnya bebas dari ancaman intoleransi dan radikalisme.
Ancaman ini seringkali dijumpai di beberapa sekolah berbasis keagamaan yang mengajarkan anak didiknya pemahaman intoleran dan radikal. Pemahaman akan pentingnya kebhinekaan harus ditanamkan sejak dini pada anak-anak untuk melindungi mereka dari pemikiran yang segregatif.
Pemerhati anak dan keluarga Maharani Ardi Putri, M.Si., Psi., menjelaskan bahwa sebenarnya baik sekolah umum maupun sekolah berbasis agama sama‑sama merupakan pilihan yang sah bagi orang tua. Kurikulum di sekolah agama memang dirancang menyesuaikan ajaran kepercayaan masing‑masing, sementara sekolah umum bersifat inklusif tanpa memusatkan pada satu agama tertentu.
“Namun, perlu diingat bahwa yang krusial bukan label “agama” pada nama lembaga pendidikannya, melainkan kompetensi pendidik dan cara penyampaian materi yang mampu menanamkan nilai toleransi,” terang Maharani di Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Lebih jauh, penyandang gelar profesi Psikolog Klinis Dewasa dari Universitas Indonesia yang akrab disapa Putri Langka ini menegaskan bahwa pemahaman guru terhadap ajaran agama harus diuji secara kritis sebelum mereka diajak bergabung. Jika sekolah berbasis agama hendak menanamkan nilai toleransi, maka guru yang direkrut harus pula memiliki track record moderasi.
Menurutnya, ketika suatu lembaga pendidikan merekrut guru atau tenaga pengajar, mereka harus mengutamakan kecakapan metodologis, bukan sekadar kemampuan mengaji atau menghafal Alkitab. Cara pengajaran yang bebas dari bias ekstrem akan membuat materi agama bisa disampaikan dalam kerangka inklusif dan anti‑radikal.
“Lembaga pendidikan menjadi incaran kelompok intoleran karena dirasa lebih efektif untuk menanamkan pemahaman tertentu sejak usia dini, ketika kemampuan berpikir kritis anak masih belum berkembang secara sempurna. Kondisi ini memperlihatkan bahwa jika tidak diawasi, guru atau aktivitas ekstrakurikuler dapat berpotensi menyebarkan paham diskriminatif. Oleh karena itu, sistem pengawasan internal dan evaluasi kurikulum secara berkala harus diterapkan,” jelas Maharani.
Selain sekolah, Maharani menekankan bahwa pendidikan utama anak justru dimulai di lingkungan keluarga. Orang tua diminta untuk aktif memantau dan memvalidasi apa yang dipelajari anak di sekolah. Ia menyarankan agar orang tua mengajak anak berdialog tentang materi pelajaran, bukan sekadar menerima begitu saja pembelajaran dari sekolah.
Dalam pendidikan anak, sekolah memang sebagai mitra bagi orang tua, tetapi tanggung jawab utama pembentukan anak tetap di tangan orang tua. Bila ditemukan materi yang meragukan, orang tua diwajibkan berkomunikasi langsung dengan pihak sekolah untuk klarifikasi.
Maharani juga menekankan pembentukan kemampuan berpikir kritis pada anak sebagai benteng ampuh melawan hoaks dan paham ekstrem. Daripada hanya menanamkan dogma, pendidik harus mengajarkan anak untuk bertanya, menganalisis, dan mengkritik.
“Apabila anak kita mendapati materi pembelajaran dari sekolahnya yang sekilas terlihat agamis namun sebenarnya mendiskreditkan pihak ataupun golongan tertentu, orang tua perlu hadir sebagai teman dialog bagi anak. Sebagai orang tua yang bertanggung jawab bagi anaknya, dialog yang sehat akan lebih efektif dalam membentengi anak dari pemikiran intoleransi, ketimbang orang tua hanya melarang secara sepihak saja,” imbuh Putri.
Dirinya juga bicara soal kemudahan penyebaran intoleransi dan radikalisme melalui media sosial. Ekosistem pendidikan, sekolah dan keluarga, harus bersinergi untuk menghadapi tantangan ini. Sekolah menyediakan kerangka nilai dan literasi kritis, sedangkan keluarga memberikan teladan nyata dalam kehidupan sehari‑hari. Dengan demikian, anak mendapatkan dua lapis perlindungan, yaitu materi pembelajaran yang moderat serta suasana rumah yang menghargai keberagaman.
Mengakhiri penjelasannya, wanita yang juga Dosen di Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila ini pun mengingatkan kembali bahwa intoleransi, radikalisme, dan terorisme tumbuh subur jika ruang dialog dan pengawasan bersama terhadap anak lemah.
“Melalui seleksi guru yang bertanggung jawab, pengawasan kurikulum, pendampingan orang tua, dan pembiasaan berpikir kritis, paham-paham berbahaya dapat dicegah sejak dini. Pendidikan, baik formal maupun informal, harus direvitalisasi sebagai pilar persatuan yang kokoh di tengah pluralitas Indonesia,” ujar Putri Langka mengakhiri. (Adri Irianto)
Posting Komentar