Strategi De-Growth dan Visi World Class Navy


Dalam rangka menyusun strategi keamanan nasional memasuki abad 21, kita perlu memeriksa model pembangunan yang terobsesi dengan pertumbuhan yang digunakan selama paling tidak 25 tahun masa Orde Baru dan semakin obsesif selama 15 tahun masa reformasi terakhir ini. Keamanan nasional Indonesia yang demokratis akan dipijakkan pada kekuatan sipil di bidang ekonomi, politik dan sosial-budaya, sementara kekuatan militer akan bersifat pelengkap dan penunjang pada kekuatan sipil tersebut. Pembukaan UUD45 telah jelas mengamanahkan sebuah negara dengan kekuatan cinta damai yang tidak militeristik dan invasionis.

Dalam konteks keamanan maritim, kinerja industri perkapalan sebagai penopang utama industri maritim sebagai infrastruktur nasional akan langsung berpengaruh pada kinerja keamanan maritim (Rosyid, 2013). Namun demikian, industri pertahanan maritim tetap harus ditempatkan sebagai pelengkap dan penunjang industri maritim niaga. Hal ini untuk menghindari gejala military industrial complex (Chalmers, 2004) yang berpotensi koruptif dan war-for- profit yang bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi yang menomorsatukan kemerdekaan dan mempromosikan perdamaian.

Visi World-class Navy
Dinamika regional dan internasional tentu akan menentukan kinerja keamanan nasional kita. Pergeseran ekonomi ke Asia, dengan lokomotif China dan India telah mengubah peta ekonomi dan keamanan global (Zakaria, 2008). Pilihan-pilihan strategi keamanan nasional tentu saja perlu memperhatikan dinamika ini. Namun perlu segera dicatat bahwa dinamika permainan itu juga akan ditentukan oleh pilihan strategi kita. Pilihan kita seharusnya dipijakkan pada prinsip-prinsip dasar yang dikandung dalam konstitusi, terutama pada pembukaannya. Pilihan itu harus juga ditentukan oleh fitrah Indonesia sebagai negara kepulauan yang bercirikan Nusantara.

Pilihan menjadi negara dengan kekuatan maritim yang kuat adalah sebuah geostrategic default (Anggoro, 2013). Kuat di sini harus dimaknai sebagai memadai dan efektif untuk menjaga kepentingan nasional, regional dan global kita tanpa harus menjadi invasionis berkedok pro-democracy liberator.

Perhitungan kekuatan dan postur serta arsitekturnya akan ditentukan oleh konfigurasi kepulauan Nusantara, luas wilayah lautnya serta visi dan misi yang ditetapkan semasa. Apapun skenario internasionalnya, apakah peace devidend, US- China rivalry ataupun G-zero, maka trajektori menuju visi world-class navy 2024 yang menuntut kepastian kehadiran personil TNI AL dalam waktu 24 jam di semua titik di wilayah NKRI, akan mensyaratkan sebuah kapasitas rantai-pasokan yang sesuai (Widjajanto, 2013).

Dalam perspektif rantai-pasokan inilah keamanan nasional akan tetap lebih ditentukan oleh kondisi internal kita di bidang ekonomi, sosial dan budaya serta politik dalam negeri. Kekuatan-kekuatan sipil ini akan tetap menjadi kekuatan inti penyusun kapasitas rantai- pasokan yang dapat diandalkan. Kekuatan ini akan menentukan mutu pengalaman berbangsa dan bernegara di semua bidang kehidupan dari kebanyakan warga negara.

Hidup sederhana, sak madyo (Sindhunata, 2012), tidak akan menjadi masalah jika ini dipahami sebagai pilihan strategi pembangunan yang mengutamakan keadilan sosial dan pemeliharaan lingkungan hidup. Kesenjangan berupa kemiskinan relatif dan kerusakan lingkungan adalah resep bagi instabilitas, dan rasa tidak puas yang luas yang memperlemah ketahanan kita menghadapi ancaman keamanan.

Penurunan Target Pertumbuhan : De-Growth
Untuk memperkuat kinerja ekonomi, politik dan sosial- budaya nasional sebagai basis utama keamanan nasional, strategi pembangunan di masa depan yang dekat ini tidak boleh lagi terobsesi dengan pertumbuhan yang terbukti telah menyebabkan kesenjangan dan kerusakan lingkungan. Pemerataan dalam pengertian social justice perlu menjadi fokus pembangunan. Ini berarti pembangunan harus lebih fokus pada tiga hal.

Pertama, perluasan kegiatan produksi yang menyerap banyak tenaga kerja dengan mengandalkan kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi terutama untuk melayani pasar domestik. Small and Medium Enterprises ini terbukti telah menjadi penyangga yang tangguh selama krisis ekonomi, namun masih diperlakukan secara diskriminatif oleh perbankan. Sektor keuangan konsumtif tidak boleh lagi mendominasi ekonomi nasional, dan sumber migrasi nilai tambah dari sektor riil. Sektor keuangan tidak boleh lagi melayani diri sendiri, tapi harus diabdikan untuk melayani sektor produksi berskala kecil, menengah dan koperasi tersebut.

Kedua, kebijakan yang mempercepat pembangunan infrastruktur, terutama infrastruktur transportasi untuk meningkatkan konektiviti nasional. Obsesi pertumbuhan telah menelantarkan pembangunan infrastruktur transportasi yang menyebabkan banyak bottle neck dalam sistem rantai-pasokan nasional. Mind-set benua para perencana masih memahami infrastruktur terbatas hanya jalan dan jembatan, padahal untuk negara kepulauan seperti Indonesia, infrastruktur utamanya adalah armada pelayaran, penyeberangan dan pelabuhan (Rosyid, 2012). Dampak obsesi pertumbuhan ini pada negara pulau besar tidak seburuk pada negara kepulauan. Pembagian zona waktu saat ini menjadi 3 zona waktu ikut memperburuk konektiviti ini. Penyatuan zona waktu menjadi satu Waktu Persatuan Indonesia dengan mengacu ke Indonesia Bagian Tengah akan memperlebar jendela transaksi yang selama ini menyusut 4 jam/hari antara Jakarta dan Ambon ataupun Merauke (Hosana dkk, 2006).

Industri perkapalan adalah industri yang dikorbankan dalam model yang terobsesi pertumbuhan ini. Sekalipun industri pelayaran banyak menikmati peningkatan ekonomi selama 10 terakhir ini, industri perkapalan yang memproduksi kapal tidak menikmatinya karena perbankan lebih memihak industri pelayaran sedangkan pengusaha pelayaran lebih memilih membeli kapal bekas impor yang jauh lebih murah daripada kapal baru buatan galangan kapal nasional.

Kebijakan fiskal saat ini tidak berpihak pada industri perkapalan terutama yang berada di luar Pulau Batam. Akibatnya adalah kebijakan cabotage belum berhasil menggairahkan industri perkapalan nasional sebagai industri yang padat modal sekaligus padat karya.

Ketiga, mengambil kebijakan energi yang mengendalikan kebutuhan energi untuk sebuah modernitas baru energi-rendah (Rosyid, 2012), tidak hanya mengelola pasokannya saja. Obsesi pertumbuhan telah menelantarkan infrastruktur energi Indonesia. Ketergantungan pada BBM semakin parah. Target bauran energi 2025 untuk secara bertahap mengurangi BBM dan beralih ke sumber-sumber energi baru yang terbarukan seperti gas, Bahan Bakar Nabati, dan nuklir hampir pasti tidak tercapai.

Dengan menggunakan strategi degrowth, kita bisa mengembangkan pengelolaan energy demand-side. Strategi menuju modernitas energi-rendah ini lebih tepat dalam upaya mendorong pemerataan pembangunan dan keadilan sosial di tengah situasi lingkungan yang semakin rusak. Dalam konteks ini gagasan ekonomi biru oleh Pauli bisa dipertimbangkan (2010) sebagai terobosan di tingkat bisnis.

Pemerintah kurang menyadari bahwa kebutuhan kendaraan pribadi yang tidak dikendalikan merupakan sumber ketidakadilan energi yang secara langsung merupakan jalan ke ketidakadilan sosial (Illich, 1978 dan Rosyid, 2012). Illich mengatakan bahwa mobil dan sepeda motor adalah budak energi. Kebijakan pro- pemerataan dan pengendalian kebutuhan energi akan membuka pintu bagi alokasi BBM yang lebih adil dalam jumlah yang semakin terbatas. Ini berarti alokasi BBM yang lebih memadai dan terjangkau untuk angkutan umum, kereta api, angkutan sungai, penyeberangan, angkutan laut dan armada TNI AL dan kapal negara lainnya.

Pemerintah melalui para pejabatnya perlu memulai memberi teladan modernitas baru energi-rendah dengan mengurangi mobil dinas (apalagi dengan mesin bercc besar) dan lebih banyak menggunakan kendaraan umum, sepeda dan berjalan kaki. Halaman parkir kantor-kantor Pemerintah yang dipenuhi mobil dinas adalah teladan buruk energi-tinggi dan ketidakadilan. Ini tidak menunjukkan modernitas tapi sekedar arena self- glorification yang tidak sehat dan pendorong korupsi.

Mobil dinas mewah bercc besar bagi pejabat tinggi dan perwira tinggi bukan pula teladan yang baik bagi kesadaran hidup sederhana energi-rendah halaalan thayyiban (Rosyid, 2012) yang dibutuhkan dalam upaya membangun rasa keadilan sosial warga negara. Adalah pemandangan ironik jika halaman parkir Markas Besar TNI AL dipenuhi mobil-mobil baru bercc besar buatan asing sementara banyak KRI tua tak terawat bahkan tanpa bahan bakar teronggok di dermaga-dermaga Koarmatim ataupun Koarmabar.

Penutup
Keamanan maritim nasional di abad 21 memerlukan pendekatan baru yang dipijakkan pada pembangunan yang tidak terobsesi dengan pertumbuhan. Ini bisa dicapai dengan menerima penurunan pertumbuhan demi pemerataan dengan memperluas penciptaan lapangan kerja produktif berskala kecil, menengah dan koperasi, serta mempercepat perluasan pembangunan infrastruktur transportasi yang lebih sesuai dengan fitrah negara kepulauan.

Dengan menerima penurunan pertumbuhan, kebijakan energi bisa diarahkan pada pengelolaan sisi kebutuhannya. Dalam model pembangunan energi- rendah ini peluang menciptakan keadilan sosial menjadi jauh lebih mungkin. Akan ada ruang dan anggaran bagi komitmen pembangunan infrastruktur transportasi dan energi bagi lebih banyak penduduk di lebih banyak daerah di seluruh Indonesia, dan juga bagi TNI.

Jika negara maritim bervisi world-class navy adalah sebuah geostrategic default bagi Indonesia, maka visi TNI AL tersebut akan dapat diwujudkan sebagai infrastruktur utama negara kepulauan ini dalam sebuah modernitas Indonesia baru berenergi-rendah. (Daniel M Rosyid, PhD. MRINA)*
*Guru Besar pada Fakultas Teknik Kelautan ITS (Institut Teknologi SepuluhNovember), Surabaya.(Jurnal Maritim)
Click to Comment!

0/Post a Comment/Comments