Hal tersebut dikatakan Deputi bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT RI, Mayjen TNI Sudaryanto, S.E., dalam sambutannya pada acara Dialog Kebangsaan bersama Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan Dalam Rangka Pencegahan Paham Radikal Terorisme yang berkerjasama dengan Komisi XIII Dewam Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Acara yang dihadiri Wakil Komisi XIII DPR RI, Dewi Asmara, S.H., M.H. dan Walikota Sukabumi, H. Ayep Zaki, ini dihadiri lebih dari 200 orang yang terdiri dari Forkopimda, tokoh agama, mahasiswa dan akademisi yang ada di Kota dan Kabuoaten Sukabumi ini digelar di The Bountie Hotel & Convention Center, Sukabumi, Kamis (12/6/2025).
“Tentunya kami ucapkan terima kasih kepada pak Walikota Sukabumi bersama jajaran dan juga masyarakat Sukabumi yang telah membawa Sukabumi sebagai kota yang toleran. Untuk mewujudkan ini tentu tidaklah mudah karena butuh kolaborasi bersama antara pemerintah daerah dan masyarakat,” ujar Mayjen TNI Sudaryanto menanggapi sambutan Walikota Sukabumi yang telah memberikan sambutan sebelumnya.
Lebih lanjut Deputi I BNPT mengingatkan kalau masyarakat tidak boleh lengah dengan capaian ini, karena ancaman penyebaran paham radikalisme dan terorisme itu sampai sekarang masih terus ada dan terus beradaptasi. Tentunya perlu peran serta dari semua unsur untuk menguatkan itu semua agar masyarakat semakin terbentengi
“Kalau semua kota bisa seperti ini, Indonesia akan semakin kuat. Dengan adanya pencapaian seperti ini sebagai kota yang toleran, jadi tidak langsung berdiam diri, tetapi harus tetap bergiat lebih maksimal lagi sehingga kedepannya mungkin lebih baik lagi hasilnya dan bisa menularkan kepada kota-kota atau kabupaten kota yang lainnya ada di sekitar Sukabumi,” ujar alumni Akmil tahun 1993 ini.
Menurutnya, dialog ini bukan hanya bicara tentang toleransi, tapi juga untuk memberikan pemahaman bahwa perbedaan masyarakat Indonesia adalah kekuatan. Dialog ini tidak pula hanya soal menghargai dan menghormati, namun juga sebagai upaya menjamin kesetaraan sosial bagi semua tanpa memandang suku, agama, ataupun bidaya.
“Harus dipahami bahwa potensi bahaya yang mungkin terjadi di negara multikultural seperti Indonesia ini adalah pembenaran konflik ataupun tindakan kekerasan menggunakan dalih agama,” ujar perwira tinggi yang karir militernya dibesarkan di Satuan 81/Gultor Kopassus TNI-AD
Perwira tinggi yang pernah menjabat Komandan Korem 084/Bhaskara Jaya ini meminta kepada para tokoh agama, tokoh masyarakat harus bisa memberikan narasi-narasi yang konstruktif tapi tidak destruktif kepada para pengikutnya, kepada para jamaahnya sehingga mereka bisa diajak sama-sama untuk membangun negara bangsa ini
“Oleh karena itu dialog ini sebagai sarana untuk penguatan kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan juga kepada adik-adik kita mahasiswa dimana nanti mereka akan menjadi duta-cita kita, menjadi garda kita ke depan untuk mensiarkan, untuk memberikan narasi-narasi tentang bagaimana hidup berdampingan, hidup toleran dan juga menghindari adanya disinformasi, perpecahan dan radikalisasi,” ucap Komandan Grup 1/Parako Kopassus ini mengakhiri.
Dalam kesempatan tersebut Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Dewi Asmara, menyoroti pentingnya ideologi Pancasila sebagai tameng utama dalam menghadapi infiltrasi paham radikal, khususnya di kalangan generasi muda.
“Di era digital, penyebaran paham ekstrem bisa masuk lewat media sosial dan informasi palsu. Maka penguatan Pancasila harus terus dilakukan secara konsisten, terutama di dunia pendidikan,” tutur politisi Partai Golkar ini.
Dirinya mengatakan, penguatan yang diberikan kepada audience dalam acara ini adalah bagaimana BNPT ini sebagai institusi yang bertanggung jawab untuk masalah keamanan negara utamanya terhadap masalah radikalisme dan terorisme ini tentunya negara yang aman itu bukan semata-mata karena akan ada reaksi teror bersenjata maupun bom dan yang lain karena banyak masyarakat yang belum paham bahaya radikalisme dan terorisme
“Tapi dalam arti kata terorisme ini kan pemaksaan kehendak untuk merasa yakin dan benar atas idealisme, atas perjuangan, atas misi yang sebetulnya bisa lebih bertoleransi. Karena basis pertahanan masyarakat Sukabumi dan Indonesia secara keseluruhan adalah para pelajar, mahasiswa dan generasi muda. Jangan hanya hingar-bingar dalam narasi, tapi minim dalam substansi.
Dewi juga mengingatkan jangan sampai era perkembangan teknologi saat ini menjadikan masyarakat bangsa ini terpecah-belah dengan narasi intoleransi dan radikalisme. Masyarakat harus secara sadar dan aktif mengklarifikasi informasi yang ditemukan di internet dan media sosial, agar tidak mudah terbawa arus yang tidak benar, namun seakan-akan benar.
“Masyarakat juga harus memahami tentang konsep proxy war, bahwa peperangan yang terjadi di suatu tempat atau di negara Indonesia, bisa jadi pemicunya adalah negara lain yang jauh dari Indonesia,” ujarnya mengingatkan.
Menurutnya, dengan adanya dialog-dialog kebangsaan seperti ini tentunya ke depan dirinya berharap para tokoh-tokoh pemuka, agama tokoh-tokoh pendidikan, dunia Pendidikan, mahasiswa dan masyarakat jadi lebih memahami bahaya itu. Bukan seperti apa yang disampaikan audience saat sesi tanya jawab yang keluar statemen terorisme itu khayalan.
“Karena bayangan mereka tinggi, ‘masak iya kita masyarakat sipil jadi pengebom?’. Padahal sebetulnya konsep daripada terorisme itu bercikal bakal dari sesuatu yang belum tentu yang bentuknya kekerasan. Tetapi teror dalam pemaksaan kehendak, dalam pemaksaan filosofi, dalam pemaksaan idealisme. Itulah perlunya suatu dialog,” ujarnya kepada para wartawan.
Karena menurutnya manusia boleh beda pendapat, boleh beda pandangan, tapi ketika berbicara dalam bahasa Indonesia dan bicara kesatuan maka kita harus ada toleransi. “Mari kita sama-sama merasa bisa menjadi satu dalam NKRI dan merupakan tanggung jawab bersama tokoh agama, tokoh pendidik maupun mahasiswa,” katanya mengakhiri.
Sementara itu Walikota Sukabumi, H. Ayep Zaki, menegaskan pentingnya merawat kemajemukan sebagai kekuatan utama bangsa. Dirinya menyatakan bahwa sejak lahir, bangsa Indonesia telah majemuk dalam banyak hal, namun justru dari keberagaman itulah kekuatan bangsa dibentuk.
“Indonesia tidak satu ras, tidak satu agama, tapi disatukan oleh nilai luhur yang hebat. Ini adalah embrio yang luar biasa. Sebagai kepala daerah, saya tentu akan terus mengibarkan panji persatuan dan kesatuan,” ujarnya di hadapan para tokoh agama dan masyarakat.
Ayep Zaki juga menyampaikan Sukabumi juga mendukung Program Strategis Nasional (PSN) berupa koperasi nasional yang juga diterapkan di banyak wilayah di Indonesia. Hal ini bisa menjadi sarana bagi masyarakat setempat agar lebih produktif dan tidak condong pada kegiatan-kegiatan yang memicu konflik.
“Kemajemukan suatu bangsa, jika dibandingkan dengan negara lainnya yang justru berpotensi memecah belah persatuan bangsanya, Indonesia bisa mengolah kemajemukan sebagai alat yang mempersatukan dan memperkuat bangsanya,” katanya mengakhiri.
Pada sesi dialog juga menghadirkan tiga narasumber yakni Direktur Pencegahan BNPT, Prof. Dr. Irfan Idris, MA., Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU, Dr. Najih Arromadloni, M.Ag dan mitra deradikalisasi, Sofyan Tsauri. Sesi dialog ini di moderatori Redaktur Pelaksana Pusat Media Damai (PMD) BNPT, Abdul Malik, MA.
Prof. Dr. Irfan Idris, mengatakan bahwa dialog ini ingin menegaskan negara Indonesia ini adalah negara bangsa, bukan negara agama seperti yang digembor-gemborkan kelompok radikalisme terorisme yang ingin mengganti dengan system Khilafah.
“Harus dipahami Khilafah itu adalah pemerintah. Sedangkan kita sudah memiliki pemerintah Untuk itu seluruh unsur masyarakat harus bisa mendeteksi untuk melakukan cegah dini, waspada dini dan tangkal dini terhadap paham radikal terorisme,” ujarnya.
Sementara itu Najih Arromadloni atau yang akrab disapa Gus Najih mengingatkan kalau masyarakat tidak boleh lengah walaupun Sukabumi sebagai kota toleran. Karena dalam berbagai kasus ada penangkapan teroris di Sukabumi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir dan kejadian bom malam natal di tahun 2000 silam.
“Akar radikal terorisme paling kuat di Jawa Barat karena dulu pertama kali NII berdiri disini dan juga pergerakan pusat radikalisme di Sukabumi. Harus ada deteksi dini dan pencegahan untuk Sukabumi dalam menanggulangi paham radikal terorisme,” ujar Gus Najih.
Sementara itu Sofyan Tsauri yang juga mantan anggota Polri yang terpapar paham radikal terorisme membagikan pengalamanya bahwa hal pertama yang tidak disadari oleh kelompok teror adalah mereka tidak sadar bahwa mereka telah terkena paham radikal terorisme. Media sosial bisa menjadi sarana efektif informasi tapi bisa juga menjadi boomerang untuk kita dan anak-anak kita.
“Kelompok radikal terorisme sudah ditanamkan sejak dini untuk membid’ah kan dan membenci kelompok yang ada diluar kelompok kita. Buku-buku banyak yang mempengaruhi orang atau kelompok untuk menjadi bagian dari paham radikal terorisme. Jangan sampai kita menyekolahkan anak kita menjadi Hafidz tetapi mengkafirkan Orangtuanya. Sebagai orangtua harus mencarikan Pendidikan yang baik kepada anak kita,” ujarnya berpesan. (Adri Irianto)
Posting Komentar